Selasa, 17 Januari 2012

Winglets, Lekukan Ujung Pesawat

                                        flightglobal.com
Anda mungkin pernah melihat sayap pesawat terbang yang ujungnya ditekuk atau bengkok mengarah ke atas. Melihat itu, Anda tentu bertanya-tanya mengapa ya kok ditekuk seperti itu? Apakah ada gunanya?

Pertanyaan lain apakah sekadar aksesoris dan ‘gaya-gayaan’ saja agar terlihat bagus atau supaya terlihat seperti postur Gatotkaca yang tangannya gemulai melakukan gerakan menari bersiap menjelang terbang? Ataukah memang terdapat tujuan teknis yang terkait dengan keuntungan yang didapat (advantages) dari bentuk sayap seperti itu?

Bentuk ujung sayap (wing tips) yang seolah bengkok itu mempunyai maksud untuk mengurangi pergolakan udara disekitar ujung sayap (wing tips vortex). Pergolakan udara itulah yang nantinya berfungsi menjadi gaya hambatan alamiah dari bentuk sayap itu. Gaya hambatan ini sangat merugikan dan bahkan dalam kategori tertentu terkadang membahayakan. Gaya hambatan ini di­sebut induced drag.

Empat Gaya

Sebelum berbicara lebih jauh tentang Winglet, mari kita mengingat kembali tentang empat gaya yang bekerja pada pesawat terbang yang dikenal dengan gaya Aerodinamis. Keempat gaya itu adalah gaya angkat (Lift ), gaya berat (Weight), daya dorong (Thrust), serta gaya hambatan (Drag). Keempat gaya itu muncul se­rentak bersama-sama pada saat pesawat terbang mulai meng­udara. Drag muncul karena ada Lift. Artinya, selama benda terbang itu memproduksi Lift, maka sepanjang itu pula Drag hadir. Drag sendiri terbagi menjadi dua macam, yakni Induced Drag dan Parasite Drag.

Induced Drag adalah gaya hambatan yang timbul secara alami yang disebabkan oleh bentuk sayap. Bentuk sayap yang spesifik  memang sengaja didesain sedemikian rupa agar mendapatkan Lift. Ironisnya, bentuk profil sayap itu ternyata sekaligus ‘melahirkan’ suatu gaya yang ‘tidak diinginkan’ yaitu Drag. Sehingga memang betul jika Drag timbul saat Lift hadir.

Parasite Drag adalah hambatan yang timbul tetapi justru tidak terkait langsung dengan keberadaan Lift. Parasite Drag terbagi menjadi dua macam, yaitu Skin Friction Drag dan Form Drag. Skin Friction Drag yaitu suatu gaya hambatan yang muncul karena gesekan suatu objek yang melewati udara pada saat objek itu ber­gerak. 

Misalnya: Sayap pesawat yang diselimuti lapisan es. Ini akan menjadikan permukaan sayap berubah menjadi kasar. Akibatnya muncul turbulensi-turbulensi kecil di atas permukaan sayap. Sudut serang pesawat (Angle of Attack ) yang terlampau besar juga akan berakibat munculnya turbulensi di sayap tepi belakang (trailing edge).

Form Drag adalah Drag yang terjadi karena bentuk benda itu sendiri yang langsung berhadapan dengan arus udara yang akhir­nya menimbulkan turbulensi yang luar biasa besar. Bentuk benda yang dimaksud di si sini adalah material yang sama sekali tidak menggunakan prinsip-prinsip streamline. Contoh yang mudah dilihat adalah seorang atlet bersepeda, yang kalau kita perhatikan ternyata memakai helm yang khusus dirancang saat melaju di atas sepeda­nya dengan kecepatan tinggi.

Helm itu berbentuk unik, yaitu streamline shaped, di bagian ujung belakangnya semakin meruncing dan pipih.Tujuannya agar tidak ada pergolakan udara di belakang kepala si atlet yang berbentuk seperti turbulensi yang pada akhirnya akan mengurangi kecepatannya saat melaju. Drag yang timbul di sekitar belakang kepala si atlet itulah yang disebut Form Drag.

Gaya Angkat Positif

Mari kita bercerita lebih jauh tentang Induced Drag. Pertama-tama, kita harus memahami tentang profil sayap yang didesain sedemikian rupa, agar mampu menghasilkan gaya angkat positif ke atas yang disebut Lift.

Untuk menghasilkan gaya itu, tekanan statis dari bawah permukaan sayap harus lebih besar dari tekanan statis yang timbul dari atas sayap. Aliran udara dari depan menuju belakang sebagian melewati ujung sayap dari tekanan statis tinggi di bawah permukaan sayap ke tekanan statis rendah,yang berada di atas permukaan sayap.

Kedua tekanan yang bertemu ini menjadi suatu gerakan pergolakan udara yang bermasalah yang ‘tidak dikehendaki’. Pergolakan ini adalah turbulensi yang arahnya berputar dan terpuntir di seputar ujung sayap. Semakin besar luas sayap, maka semakin besar pula turbulensi yang tercipta.

Sekadar contoh, turbulensi ujung sayap pesawat terbang Hercules C-130 mampu ‘membanting’ pesawat kecil sekelas Cessna 152 yang berada di belakangnya saat hendak melakukan taking off. Hal tersebut dikarenakan turbulensi ini semakin mengarah ke belakang semakin membesar dan menguat. Di dunia penerbangan turbulensi ini dikenal dengan nama Wake Turbulence. Sangat membahayakan bukan?

Untuk mengatasi pergolakan udara yang bermasalah dan ‘tidak dikehendaki’ tersebut di atas para insinyur aerodinamika menciptakan suatu bentuk-bentuk tambahan ujung sayap, untuk ‘memecah’ turbulensi tadi agar setidaknya dapat mengurangi skala turbulensi yang besar menjadi skala yang kecil-kecil dan terpecah pecah. Adalah suatu kemustahilan untuk meng­eliminasikan turbulensi ujung sayap tadi. Bentuk modifikasi ujung sayap tersebut ada­lah Wing Fence, Modified Wing, Wing Tip Tank, dan yang paling populer Winglet.

Di antara betuk-bentuk modifikasi ujung sayap di atas, yang pa­ling banyak dipakai adalah Winglet. Berdasarkan data teknis dari manufaktur pesawat terbang, Wing­let ini juga memberikan keuntungan secara ekonomis bagi pesawat terbang yang menggunakan bentuk ini, yakni mengurangi konsumsi bahan bakar (lebih irit) hingga mencapai 7%.

Bagi perusahaan penerbangan komersial, angka 7% tentu sangatlah berarti dan besar. Apalagi bila pesawat itu terbang dalam jarak yang terhitung jauh, maka semakin besar pula efisiensi bahan bakar yang dilakukan. Untuk itu sangat wajar jika banyak pesawat terbang komersial yang memasang Winglet pada ujung sayapnya. Pesawat terbang modern dapat dipastikan hampir semua memasang winglet ini. (*)

Minggu, 15 Januari 2012

Pengelompokan Industri Kedirgantaraan


Pengelompokan klaster industri kedirgantaraan dapat dibagi kedalam 2 (dua) grup industri yang dapat menjadi mitra industri inti:

1. Satu group yang masuk didalam perusahaanperusahaan yang bisa menghasilkan produk yang dibutuhkan untuk pengembangan prasarana perusahaan, misalkan dalam bidang informasi, computer, catering, percetakan dan sebagainya yang bersifat prasarana.
2. Satu group lagi yang berkaitan dengan produk, khusus group ini dibagi 2 (dua) kelompok yaitu ;
Group yang menghasilkan produk-produk yang lansung dipasang di produk dan yang tidak dipasang diproduk, misalnya Tool, Jig, Fixture, Casting dan Moulding.

Pengelompokkan industri pendukung dalam industri pesawat terbang, menurut Niosi, Jorge and Majlinda Zhegu dapat dibagi ke dalam 4 (empat) tingkatan (Tier), dimana setiap Tier merepresentasikan kompleksitas pengerjaan dimana kriteria Fit, Form and Function menjadi prasyarat utama (lihat ilustrasi gambar 3.3), berikut uraian dari masing-masing Tier:

Tier I, merepresentasikan pemilik desain, pengerjaan Assembly airframe hingga penjualan produk akhir (end
product).
Tier II, merepresentasikan pembuatan komponen, meliputi onboard avionic system, Propulsi, Airframe Structure, Subassembly, Subsystem.
Tier III, merepresentasikan industri pendukung electronic and electrical Components and part, Electronic System and subsystem, engines and Components, Engines Accessories, Starting system and electrical power sources, fuselage and structures, interior cabin, system and components, Environmental Control System, Fuel System. Landing gear system dan hydraulic system.
Tier IV, merepresentasikan industri pendukung pembuatan Detail part manufacturing (DPM) yang merupakan bagian dari industri rantai pasok komponen pesawat terbang.

a. Kelompok Industri Hulu
Berdasarkan perspektif industri manufaktur kedirgantaraan dimana Pesawat Terbang sebagai industri intinya, maka industri hulu didefinisikan sebagai industri yang memasok bahan baku material [raw material] pesawat terbang.
Secara umum, material untuk pembuatan komponen pesawat terbang dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Aluminum Alloy
Sebagai struktur pesawat (aiframe structure) dimana keunggulan metal ini, jika digunakan dengan tepat, adalah mudah dalam manufacturing, memiliki high strength yang tinggi, fatigue life yang panjang dan ketahanan korosi yang baik.

Penggunaan diantaranya untuk:
• Untuk komponen skin yang membutuhkan fatigue strength yang tinggi, seperti wing lower skin, digunakan 2024-T3
Lower wing stringer: 2024-T4 extrusions
• Untuk komponen skin yang membutuhkan static strength yang tinggi, seperti wing upper skin, digunakan clad 7075-T6 plate
Upper wing stringer: 7075-T6 extrusions
Major fuselage frame: 7075-T73 plate
Sheet metal fuselage frame: clad 2014-T6
Machined structural components: 7075-T73 plate
Main landing gear frame: 7175-T736 die forging
Semi-structural machining 6061-T6 plate
2) Steel Alloy
Dipilih untuk komponen dimana kekuatan material dan compactness nya sangat
penting, Penggunaan diantaranya untuk:
Flap track support: Stailess steel
Main/Nose Landing gear: 300 M heat treated
sampai 260 Ksi
Small steel parts: SAE 4340 heat treated
sampai 160 Ksi.
3) Titanium
Dipilih untuk engine nacelle fire zone.
4) Fiber Reinforced Plastic
Terutama jenis Kevlar 49, digunakan untuk nose avionics compartment shell (dalam bentuk simple laminate), cabin ceilings, walls, overhead bins dan cabin floor (dalam bentuk skin laminate yang melapisi sandwich structure dengan Nomex honeycomb didalamnya sebagai core). Untuk daerah struktur yang tidak memiliki konsentrasi tegangan yang tinggi jenis sambungan Metal-to-metal bonding digunakan untuk menyambung skin-stringer dan skin-doubler plates. Jenis adhesive yang digunakan adalah AF330 yang diproduksi 3M Company. Sistim nitrile phonolic ini di “cured” pada suhu 3500 untuk berubah menjadi EC1593 corrosion resistant primer. Lapisan ini dioleskan pada kedua permukaan yang akan disambung disusul dengan AF30 adhesive film sebelum kedua permukaan tersebut direkatkan.
5) Rubber
Dipergunakan untuk seal atau filler sebagai peredam jika terjadi getaran (fibrasi) yang tidak diinginkan.
6) Textile
Dipergunakan untuk bahan interior, seperti jok dan beberapa accessories dalam
cabin pesawat.
7) Glas
Ddipergunakan pada komponen lampu, panel dan jedela tembus pandang dan beberapa
accessories dalam cabin pesawat.
8) Plastics
Dipergunakan pada komponen interior seperti pada panel dan accessories dalam cabin pesawat.
9) Chemical
Dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi misalnya pada proses surface treatment, chemical milling, painting, dll. Untuk meningkatkan kualitas material, proteksi dan estetika.

Yang menjadi persoalahan adalah, hingga saat ini belum ada satupun industri nasional yang memenuhi
standar mutu sebagai pemasok bahan baku pembuatan komponen pesawat terbang. Industri hulu yang ada baru bisa menghasilkan material-material umum yang hanya dapat dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan material untuk konstruksi bangunan yang memiliki tingkat resiko jauh di bawah standar mutu untuk material pesawat terbang.

b. Kelompok Industri Antara
Salah satu trend industri manufaktur global saat ini adalah fokus pada integrasi pesawat (aircraft integration). Dalam arti, industri manufaktur pesawat hanya fokus pada produk akhir (pesawat terbang) sementara industri non core business termasuk komponen Tier II s.d Tier IV di outsource kepada industri rantai pasok yang ada. Dengan demikian kelompok industri antara dalam industri manufaktur pesawat terbang dapat didefinisikan sebagai kelompok industri rantai pasok, antara lain meliputi:
• Industri Detail Part Manufacturing
• Industri Component Manufacturing
• Industri Tool, Jig, Casting and Mold
• Industri Engine Component
• Industri Propulsion System
• Industri Interior & Cabin System
• Industri Environmental Control System
• Industri Fuel System
• Industri Landing Gear System
• Industri Hydraulic System
• Industri Electronic System
• Industri Electric and Electronic Component Part
• Industri NAV COM & Mission System

Kondisi Industri antara di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan industri hulu, industri antara yang ada tidak banyak yang dapat men-supply industri hilir, kalau pun ada hanya sebatas komponen yang tidak melekat langsung pada struktur utama pesawat, misalnya industri tool dan jig, molding and casting. AS9100 sebagai standar mutu yang spesifik berlaku dalam industri dirgantara. Beberapa standard yang
merupakan paket persyaratan manajemen mutu internasional ini adalah:
• 9100 – Quality Management System for Aerospace Manufactures
• 9102 – First Article Inspection
• 9103 – Management of Key Characteristics
• 9104 – Requirements for Registration of Aerospace Quality Management Systems
• 9110 – Quality Management System for Aerospace Repair Stations
• 9120 – Quality Management System for Distributors

Sedangkan berdasarkan hasil analisis dan pemetaan atas 40 industri di Indonesia, dapat disimpulkan:
a. Dalam industri komponen, terdapat industri alat bantu yang menyertainya, industri ini yang biasanya disebut dengan Tools-Mould. Saat ini terdapat potensi resources (sumber daya) yang memiliki kemampuan untuk pembuatan Tools-Mould.
b. Peta potensi industri pendukung yang siap menjadi mitra industri inti atau menjadi bagian dari industri rantai pasok pembuatan komponen pesawat, dapat disajikan sebagai berikut:
Cara baca, bahwa:
Terdapat 2 perusahaan atau 5% dari 40 perusahaan yang disurvey siap menjadi Sub Contractor permesinan Komponen Pesawat Terbang.
Extended shop type B adalah industri yang memiliki kemampuan alur proses produksi dalam pembuatan komponen pesawat terbang dari prime manufacture untuk lingkup: Aktifitas persiapan material, Aktifitas Proses standard, Aktifitas Proses Khusus, Aktifitas marking indetifikasi part
Extended shop type A adalah industri yang memiliki kemampuan alur proses produksi dalam pembuatan komponen pesawat terbang dari prime manufacture untuk lingkup: Aktifitas persiapan material, Aktifitas Proses standard, Aktifitas marking indetifikasi part.

C. Kelompok Industri Hilir
Jika kelompok industri hilir didefinisikan sebagai industri yang menghasilkan end-product (pesawat terbang), maka di Indonesia hanya terdapat 1 (satu) Industri manufaktur pesawat terbang yaitu PT. Dirgantara Indonesia (Persero).

Industri hilir ini dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara yang mampu menghubungkan, sebagai jembatan udara, lebih dari 17.000 kepulauan di Indonesia, serta dorongan keinginan untuk menguasai teknologi tinggi dibidang kedirgantaraan sebagai motor penggerak dalam percepatan pembangunan dari aspek kemudahan akses tansportasi udara, dengan harapan industri ini tumbuh dan berkembang merangsang percepatan pertumbuhan industri antara dan industri hulu, gagasan ini tercermin dari 4 (empat) tahap alih teknologi kedirgantaraan di indonesia.

Sumber: aviasista.com

Ruang Lingkup Industri Kedirgantaraan


                                                                                               foto: flightglobal.com
Industri Kedirgantaraan dalam konteks industri manufaktur pesawat terbang jika dilihat dari perspektif proses bisnis, memiliki beberapa karakteristik yang membedakan industri lain dengan industri pesawat terbang, industri pesawat terbang dinilai sebagai industri yang kompleks, multi disiplin keilmuan dan lingkungan yang dinamis.

Intinya adalah, karakteristik industri pesawat terbang adalah: (1) Padat teknologi, (2) Rentang waktu pengembangan relatif lama, (3) Padat modal, (4) Padat karya, (5) Pasar terbatas, (6) Sarat akan aturan, (7) Hubungan yang erat dengan pemasok, (8) Melibatkan peran pemerintah.

Karekteristik yang ke-8 (melibatkan peran pemerintah), menarik untuk dicermati, karena industri pesawat terbang merupakan industri strategis sehingga industri ini selalu mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah yang berkuasa. Berikut beberapa kutipan tentang adanya indikasi kuat keterlibatan dan peran Pemerintah dalam pengembangan industri kedirgantaraan yang dimilikinya.

1. Boeing (Usa) & Airbus (Eropa)
Pada tahun 2004 Amerika Serikat (USA) & Uni Eropa (EU) membawa sengketa perdagangannya ke WTO dimana USA menyatakan bahwa Airbus telah menerima US$ 15 Miliar subsidi dan sebaliknya EU menyatakan bahwa Boeing telah menerima US$ 18 Miliar subsidi. Tahun 1992 EU dan USA sepakat membatasi subsidi sampai 33% dari total biaya pengembangan pesawat baru.

2. HAMC (China):
Didukung oleh pemerintah dalam bentuk subsidi dan bantuan modal. Pemerintah China melindungi pasar dengan mengharuskan investor asing untuk melakukan joint venture untuk memasuki pasar China, dan seluruh kebutuhan pesawat dalam negeri harus di penuhi dan atau melibatkan Industri
China.

3. Bombardier (Canada):
Obligasi dijamin oleh pemerintah sehingga memudahkan Bombardier untuk mendapatkan dana. R&D
didukung oleh pemerintah dengan memberikan sekitar US$ 2 miliar setiap tahunnya.

4. EMBRAER (Brazil):
Pemerintah memberikan subsidi yang dalam 2 tahun terakhir nilainya telah mencapai US$ 1 Miliar.

5. Lockheed Martin, Boeing, Northrop Grumman, Raytheon (Amerika):
Departemen Pertahanan (DoD) secara rutin memberikan kontrak untuk pengadaan alat-alat dan sistim pertahanan sebesar lebih dari US$ 70 Miliar per tahun.

6. Evektor (Skotland)
Pemerintah menanggung seluruh biaya pengembangan pesawat terbang EV55 dan menutup peluang bagi mitra asing untuk masuk atau ikut dalam konsorsium pengembangan pesawat pada kelas tersebut.

Sumber: aviasista.com

Black Box, Tahan sampai 1.100 Derajat Celsius

Flight Data Recorder (foto: autospeed.com)
Terjadinya  kecelakaan pesawat terbang akhir-akhir ini seakan menjadi momok yang menakutkan bagi dunia penerbangan. Cuaca buruk, kelalaian pilot dan kerusakan pesawat menjadi beberapa diantara penyebab utama kecelakaan penerbangan.

Akibatnya tak hanya merugikan maskapai penerbangan tetapi juga penumpang pesawat yang menjadi korban. Ironisnya, banyak penyebab kecelakaan pesawat yang belum terungkap. Alasanya mudah ditebak, yaitu tidak adanya alat yang membantu penyidik untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi sebelum atau saat  kecelakaan terjadi.

Inilah yang kemudian mendorong umat manusia untuk membuat suatu alat yang mampu merekam keadaan pesawat dan pembicaraan yang terjadi di kokpit. Alat itulah yang sekarang ini dikenal sebagai black box atau kotak hitam. Istilah black box memang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Karena memang, setiap kali terjadi kecelakaan penerbangan, black box merupakan salah satu benda yang paling sering disebut.

Black box merupakan perangkat yang dipasang pada pesawat terbang, terdiri dari perekam data penerbangan (flight data recorder-FDR) dan perekam suara kokpit (cockpit voice recorder-CVR). FDR merupakan alat yang berfungsi untuk merekam data penerbangan pesawat seperti kecepatan pesawat, ketinggian pesawat, arah pesawat, dan data penerbangan lain. Sedangkan CVR berfungsi untuk merekam pembicaraan di kokpit pesawat termasuk komunikasi pilot dengan ATC (Air Traffic Control) atau Pengendali Lalu Lintas Udara.

Dalam kecelakaan penerbangan, apabila lokasi pesawat belum diketahui secara pasti, pihak berwenang (Tim SAR dan pihak-pihak terkait) akan melakukan pencarian dan penyisiran ke tempat atau area yang ditengarai merupakan lokasi jatuhnya pesawat. Penyisiran dilakukan melalui jalur darat, laut dan udara tergantung dari kondisi geografis wilayah tersebut. Disamping itu juga mulai mencari dan mengumpulkan informasi dari warga masyarakat yang mungkin melihat pesawat saat jatuh atau terbang rendah.

Tak lupa pihak penyelidik (Komite Nasional Keselamatan Transportasi-KNKT)) mengumpulkan informasi dari pihak-pihak yang terlibat langsung dengan penerbangan pesawat. Hal ini dilakukan penyelidik untuk mempermudah dalam melakukan investigasi kecelakaan penerbangan.

Setelah pesawat terbang dan black box-nya ditemukan, isi black box diambil untuk kemudian dibawa ke laboratorium pembaca black box. Disini black box dibaca dan dianalisis untuk kepentingan rekonstruksi atau reka ulang kecelakaan yang terjadi. Informasi yang didapat nantinya bisa membantu penyelidik mengungkap penyebab terjadinya kecelakaan, bahkan bisa mengungkap rincian dari peristiwa sesaat sebelum kecelakaan terjadi.

Namun hasil pembacaan black box tidak bisa disampaikan ke masyarakat secara bulat-bulat. Sesuai ketentuan ICAO (Organisai Penerbangan Sipil Internasional), hasilnya hanya untuk kepentingan investigasi. Hasil pembacaan yang disampaikan ke masyarakat hanya analisa secara umum dan rekomendasi atau usulan-usulan perbaikan agar kecelakaan serupa tidak terulang lagi di masa mendatang.  

Tidak Hitam

Terkadang masyarakat salah menafsirkan dengan menganggap black box itu berwarna hitam seperti namanya. Padahal black box tidak berwarna hitam. Benda ini justru berwarna jingga cerah atau oranye yang selain membuatnya terlihat lebih menarik, juga membuat black box lebih mudah ditemukan apabila terjadi kecelakaan penerbangan.


Letak FDR dan CVR  (foto: inside16.blogspot.com
Black box memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, kira-kira seukuran tas punggung. Meski ukurannya kecil benda satu ini memiliki ketahananan yang luar biasa. Bahan pembungkusnya (casing) terbuat dari titanium atau baja sehingga membuatnya tahan terhadap benturan keras dan temperatur tinggi sampai suhu 1.100 derajat Celsius.

Black box juga mampu bertahan meski tenggelam beribu-ribu meter di dalam laut. Sebagai contoh, black box pesawat Boeing 737-400 milik Adam Air yang hilang di perairan Majene ditemukan di kedalaman 2.000 meter. Selain itu, Black box juga dilengkapi dengan Underwater Locator Beacon (ULB) yang mampu memancarkan sinyal ultrasonik dari kedalaman 4.000 meter. Sehingga apabila tenggelam didasar laut mampu diketahui lokasinya.

Black box umumnya dipasang dibagian ekor pesawat terbang. Karena saat pesawat jatuh menukik, biasanya ekor menjadi bagian terakhir dari pesawat yang berbenturan dengan tanah. Bagian ekor umumnya tidak mengalami kerusakan parah dibandingkan dengan bagian-bagian pesawat terbang yang lain. Dengan begitu bisa mengurangi kemungkinan rusaknya black box.

Untuk membaca rekaman penerbangan yang terdapat pada black box, terlebih dahulu black box dikirim ke laboratorium black box. Laboratorium black box merupakan laboratorium khusus yang mampu membaca black box dari berbagai macam pesawat terbang. Di dalam laboratorium ini terdapat peralatan (software dan hardware) yang mampu membaca FDR dan CVR yang kondisinya sudah rusak seperti terendam air atau terbakar.

Awal Penemuan

Sebagaimana ditulis www.dsto.defence.gov.au, black box pertama kali ditemukan oleh David Warren. Ia lahir di Groote Eylandt, kawasan terpencil di timur laut Australia, pada tahun 1925. Saat berusia 28 tahun, David terlibat dalam penyelidikan kecelakaan pesawat misterius. Disini David bertugas memecahkan misteri kecelakaan pesawat DH106 Comet buatan De Havilland yang jatuh di India. Menurutnya, penyelidik kecelakaan akan lebih mudah memecahkan misteri kecelakaan pesawat jika saja ada perekam suara di kokpit.

Dari sinilah kemudian muncul ide untuk merancang dan membuat alat yang kemudian dikenal sebagai perekam suara kokpit (CVR). Tak berselang lama, Ia melengkapi temuannya dengan perekam data penerbangan (FDR). Kedua perangkat inilah yang kemudian dikenal sebagai black box.

Berkat jasanya yang besar dalam dunia penerbangan ia mendapat berbagai macam penghargaan, diantaranya Medali Hartnett dari Royal Society of the Arts (2000) dan Order of Australia dari Pemerintah Australia (2002). Selain itu, sepanjang karirnya ia pernah menjadi guru matematika dan kimia di Victoria, dosen kimia di Sidney, ilmuwan di Akademi Roket Woomera, peneliti di Laboratorium Riset Aeronotik, Penasehat Ilmiah bidang Energi di Parlemen Negara Bagian Victoria.

Saat ini, black box hasil temuan David Warren telah terpasang pada pesawat terbang milik maskapai penerbangan komersial diseluruh dunia. Manfaatnya yang besar dalam mengungkap kecelakaan penerbangan, membuat banyak otoritas penerbangan mewajibkan alat ini ada pada pesawat terbang komersial.

Sumber: aviasista.com

Jumat, 06 Januari 2012

‘Jalan Raya’ untuk Pesawat Terbang

                                                                                      gapteks.info
Untuk melaksanakan penerbang­an navigasi yang baik, penerbang harus dapat menentukan posisi pesawat yang relatif terhadap permukaan bumi setiap saat. Terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan untuk menetukan posisi dalam ber-navigasi. Beberapa metoda itu adalah:
1. Pilotage Navigation
Sistem navigasi ini boleh dikatakan sebagai navigasi dasar karena sangat sederhana, yakni mempergunakan tanda-tanda di permukaan bumi yang mudah dilihat yang dapat dipakai sebagai patokan dalam bernavigasi. Tanda-tanda itu contohnya jembatan, sungai, danau, hutan, jalan raya, jalan kereta api, pabrik, lapangan terbang, bukit, dermaga kapal, dan lain-lain. Mudah sekali bukan? Seperti kita mengendarai mobil melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung de­ngan dipandu tanda-tanda yang dapat kita manfaatkan sebagai patokan, sehingga akhirnya kita sampai ke tujuan.
2. Dead Reckoning Positioning
Teknik ini sedikit lebih advanced, karena penentuan suatu titik adalah hasil kalkulasi yang berupa waktu. Maksudnya, setelah titik/posisi pertama ditemukan, maka titik selanjutnya tidak sulit untuk ditemukan.
Dengan patokan waktu yang telah ditentukan, titik berikutnya dapat diposisikan juga, tentunya setelah diberikan koreksi kecepatan pesawat, dan koreksi arah pesawat. Kenapa mesti ada koreksi? Tentu saja, sebab terkadang arah dan kecepatan angin tidak selalu tegak lurus dengan arah pesawat. Terkadang datang dari samping kiri maupun kanan, sehingga penerbang harus menghitung efek angin itu terhadap arah penerbangan navigasi kita, agar arahnya tidak melenceng.
3. Radio Navigation
Cara ini pun juga semakin maju, karena memanfaatkan radio navigasi, yakni VOR/DME dan NDB. Apa pula ini?VOR adalah VHF Omnidirectional Range. VHF itu sendiri adalah Very High Frequency, gelombang radio dengan frekuensi sangat tinggi.
Sederhananya begini, suatu stasiun radio yang memancarkan gelombang yang sangat tinggi, berupa jari-jari atau radial yang sa­ngat banyak, berjumlah 360 derajat. Omni artinya banyak/multi. Directional maksudnya arah. Seolah-olah seperti roda sepeda yang memiliki jeruji yang banyak, yang terikat pada pusatnya. ‘Jari-jari‘ stasiun VOR tadi yang berupa radial adalah alat ‘penuntun’ penerbang untuk menentukan posisinya.
Apabila ditambah DME, maka semakin lengkaplah fungsinya, ka­rena selain memberikan arah/posisi, juga memberikan informasi berupa jarak. DME artinya Distance Measuring Equipment,alat pengukur jarak pesawat itu ke stasion radio tersebut. Apabila suatu kali kita mendengar di radio komunikasi, penerbang melaporkan posisi sebagai berikut: …..’ Position on Radial 245 inbound,distance 20 DME from ‘DKI’ VOR’….. itu berarti dia ada di radial 245 derajat menuju ke stasiun DKI (nama VOR bandara Soekarno-Hatta) dengan jarak 20 DME.
Sedangkan NDB (Non Directional radioBeacon ) adalah stasiun radio juga, tetapi tidak sekomplit VOR, karena tidak memancarkan radial (jari-jari) seperti VOR. NDB sudah jarang digunakan untuk navigasi jarak jauh, mengingat akurasinya yang rendah, meskipun masih tetap digunakan untuk tambahan sarana pendaratan pesawat di bandara.
4. Celestial Navigation
Sistem navigasi ini dulu sering dipakai oleh para pelaut. Laksamana Cheng Ho menggunakan sistem ini untuk mengarungi lautan di seluruh dunia. Sistem ini menggunakan posisi matahari, bulan, dan bintang-bintang, atau benda-benda di langit lainnya sebagai patokan posisi kapal di bumi.
5. Inertial Refference System (IRS) dan Global Positioning System (GPS)
Sistem inilah yang terkini dipakai untuk melaksanakan misi navigasi, baik navigasi udara maupun navigasi pelayaran. IRS ini adalah suatu sistem yang sangat canggih. Ia memerlukan masukan (input) pada saat awal hendak dipergunakan. Input itu berupa titik-titik koordinat posisi saat itu yang sudah ditentukan berdasarkan posisi relatif terhadap garis bujur dan garis lintang.
Pesawat terbang dewasa ini hampir dipastikan semua memakai GPS untuk penentuan posisinya. GPS ini juga mempergunakan patokan garis bujur dan garis lintang. Pesawat terbang yang canggih umumnya menggunakan IRS dan GPS bersama-sama agar semakin super akurat. Meskipun begitu, radio navigasi seperti VOR/DME tetap selalu dipergunakan sebagai bagian dari perlengkapan navigasi, yang statusnya adalah pelengkap ataupun sebagai cadang­an seandainya GPS dan IRS tiba-tiba tidak berfungsi, karena suatu hal.
Apakah di langit terdapat jalan raya untuk pesawat terbang? Jawabannya memang ada ‘jalan raya’ untuk pesawat terbang. Tetapi ‘jalan raya’ itu tak terlihat secara kasat mata. Semacam jalan raya imajiner begitulah.
Jika kita hendak pergi ke Monas Jakarta, maka kita bisa melalui Jalan Merdeka Selatan. Jika hendak ke Bandara Soekarno-Hatta tanpa lewat tol, kita bisa melalui Jalan Daan Mogot.
Begitu juga dengan jalan raya pesawat terbang. Bila hendak terbang navigasi dari bandara Soekarno-Hatta ke bandara Ahmad Yani di Semarang, maka kita lewat jalan imajiner yang bernama W-45 (baca Whiskey Four Five).
Jika kita terbang navigasi dari bandara Ngurah Rai di Bali menuju ke Soekarno-Hatta di Jakarta, jalan imajiner itu bernama W-33 (Whiskey Three Three) lalu bersambung ke W-16 (Whiskey One Six). Jalanan imajiner tadi sebetulnya tidak lain adalah jari-jari atau radial dari radio VOR yang seperti dijelaskan di atas. Misalnya jika kita terbang dari Ngurah Rai ke Jakarta, maka radio VOR yang kita lewati adalah VOR Ngurai Rai sendiri, yakni BLI (baca Bravo Lima India), selanjutnya VOR Surabaya, SBR (Sierra Bravo Romeo), kemudian VOR Indramayu (IMU/India Mike Uniform), terakhir VOR Jakarta, yaitu DKI (Delta Kilo India), maka akhirnya sampailah kita mendarat di Soekarno-Hatta. (Sigit Sasongko)